Breaking News
recent

Kisah Inspiratif : Desi si Penjual Slondok

Kisah Inspiratif : Desi si Penjual Slondok

Usaha Desi Priharyana (17), siswa SMKN 2 Jetis yang berjualan slondok demi membiayai sekolah ia dan adiknya, mendapat dukungan penuh dari para guru. Bahkan, kerja keras Desi agar tidak bergantung kepada orang lain ini menjadi teladan bagi adik-adik kelas Desi.

Hal itu diungkapkan Rosmy, guru sejarah SMKN 2 Jetis. Rosmy mengaku awalnya kaget ada siswa ke sekolah naik sepeda dengan krombong di belakang berisi slondok. Setiap berangkat dan pulang sekolah, Desi berjualan slondok untuk membantu orangtuanya dan menyekolahkan adiknya. Meski mencari uang, hebatnya, Desi tidak pernah melupakan pentingnya sekolah.

"Sering dia (Desi) datang ke kantor guru untuk menawarkan slondok, setelah mencoba, cocok," kata Rosmy.

Ia menuturkan, semua guru di SMKN 2 Jetis mendukung dengan apa yang dilakukan Desi. Semangatnya menjadi inspirasi dan patut dicontoh siswa-siswa yang lain. Bahkan, guru dan karyawan di sini sebagian besar menjadi pelanggannya.

"Saya sering beli untuk keluarga di rumah. Enak, seperti namanya 'Mak Nyuss'," paparnya.

Rosmy yang juga pelanggan slondok Mak Nyuss milik Desi mengatakan, selain renyah, slondok yang dijual muridnya juga alami tanpa zat pewarna. Selain itu, harganya juga murah, hanya Rp 7.000 per bungkus.

Digemari wisatawan

Selain guru, Desi mengaku slondok yang diberi merek Mak Nyuss miliknya juga digemari wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Bahkan, dia juga mengaku Wakil Bupati Sleman, Yuni Setia Rahayu, pernah membeli tiga bungkus slondok darinya.

"Selain jualan, setiap berangkat dan pulang sekolah, di rumah saya juga sering dapat pesanan slondok," terang Desi yang setiap hari berjualan slondok dengan menggunakan sepeda ontel saat ditemui di sekolahnya, Rabu (22/01/2014) siang.

Desi mengungkapkan, sering kali ia mendapat pesanan slondok dari wisatawan via telepon. Kadang ada yang membeli lima sampai sepuluh bungkus. Biasanya, slondok itu dibeli wisatawan untuk oleh-oleh keluarga dan teman kerja di daerahnya.

"Ada yang dari Bogor, Bandung, dan Jakarta. Kadang ada yang tanya alamat, lalu datang ke rumah, tapi tidak tentu juga. Ini berkat nomor HP yang saya pasang di setiap bungkus slondok," katanya.

Ia menceritakan, pernah suatu hari didatangi orang jam 5 pagi hanya untuk membeli slondok. Namun, karena saat itu dia tidak memiliki stok, pembeli itu pun harus pulang dengan tangan kosong.

"Sedih Mas, harus bilang stoknya habis. Kasihan jauh-jauh tidak jadi beli slondok," katanya.

Sumber
STS

STS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.